Jumat, 05 Desember 2008

Kebakaran Hutan

Kebakaran hutan

Tim Greenpeace baru-baru ini menyaksikan dampak kebakaran hutan yang berkobar lagi di Propinsi Riau walau sudah ada janji-janji dari pihak pemerintah untuk menghentikan bencana tahunan tersebut agar tidak terulang kembali. Indonesia merupakan penghasil emisi gas rumah kaca terbesar ketiga di dunia setelah Cina dan Amerika Serikat (1) dan hal ini sebagian besar disebabkan oleh deforestasi, konversi lahan dan kebakaran hutan.

"Siklus terjadinya kebakaran hutan terus menerus serta pengrusakan hutan di Indonesia harus mulai dianggap sebagai masalah global karena negara kita merupakan penyumbang besar terhadap perubahan iklim dunia. Pemerintah harus mengambil langkah lebih berani untuk mencegah masalah ini dengan pertama-tama mendeklarasikan moratorium atas penghancuran dan konversi hutan gambut secara nasional,” kata Hapsoro, Juru Kampanye Greenpeace Asia Tenggara.

Panel Antar Pemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) telah menyoroti Indonesia, setelah mengungkapkan bahwa 50 persen dari potensi mitigasi perubahan iklim dunia dapat dicapai dengan mengurangi emisi yang disebabkan oleh deforestasi (2). Indonesia memiliki kawasan hutan alam asli (intact ancient forests) terbesar di Asia namun kawasan tersebut mengalami laju kehancuran lebih cepat dari wilayah lain di dunia.

Hasil dokumentasi lapangan Greenpeace di Riau menemukan hubungan erat antara kebakaran hutan dan konversi lahan hutan gambut oleh perusahaan-perusahaan kelapa sawit yang beroperasi di propinsi tersebut. Data satelit juga mengungkapkan korelasi yang kuat antara kebakaran hutan dan perkebunan-perkebunan yang beroperasi di wilayah itu.

Kombinasi antara konversi lahan gambut dan kebakaran hutan mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup secara global akibat besarnya jumlah karbon dioksida (CO2) yang terlepas ke atmosfir sehingga makin memperburuk iklim.

Indonesia akan menjadi tuan rumah pertemuan antar-pemerintah terpenting di Bali Desember nanti yang akan membahas isu perubahan iklim. Kami berharap pemerintah akan mengambil kesempatan ini untuk menunjukkan perannya dalam usaha dunia mencegah krisis global ini. Selain mencari dukungan komunitas internasional, pemerintah juga harus menunjukkan itikad baiknya dengan cara menghentikan kehancuran hutan gambut lebih jauh. Pemerintah juga harus menegakkan hukum yang berlaku terhadap perusahaan dan perkebunan kelapa sawit yang melanggar dan secara sengaja menyulut api untuk membuka lahannya,” tambah Hapsoro.

Greenpeace adalah organisasi kampanye independen yang menggunakan konfrontasi kreatif dan tanpa kekerasan untuk mengungkap masalah lingkungan hidup dan mendorong solusi yang diperlukan untuk masa depan yang hijau dan damai.

Kebakaran Hutan Merapi akibat Ulah Manusia














Balai Taman Nasional Gunung Palung, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, Sabtu (9/8), melakukan pemantauan kegiatan pembakaran lahan di sekitar taman nasional tersebut menggunakan pesawat ultra light. Dengan cara ini dapat diketahui lokasi lahan-lahan yang terbakar. Pembakaran lahan dilakukan warga untuk membuka areal pertanian pada musim kemarau seperti saat ini.


Artikel Terkait:


Senin, 11 Agustus 2008 | 06:19 WIB

BOYOLALI- Kebakaran di Taman Nasional Gunung Merapi, Desa Wonodoyo, Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, diduga akibat ulah manusia. Api yang berkobar sejak Sabtu (9/8) dan padam Minggu sore ini menghanguskan sekitar 30 hektar hutan dan merusak 500 meter pipa saluran air bersih warga.

Kepala Balai Taman Nasional Gunung Merapi Seksi II Boyolali Ngusman, Minggu (10/8), mengatakan, titik api dari bagian bawah tebing anak Gunung Merapi itu dipastikan disebabkan oleh manusia, tetapi belum diketahui karena kelalaian atau kesengajaan.

Titik api di Wonodoyo muncul dari Petak 61 dan 62 Gunung Bibi, anak Gunung Merapi, Sabtu pagi. Penanganan awal diambil alih petugas Balai Taman Nasional Gunung (BTNG) Merbabu karena pada saat bersamaan petugas BTNG Merapi masih berupaya memadamkan kebakaran di Desa Tlogolele, Kecamatan Selo, yang menghanguskan sekitar 23 hektar hutan di Gunung Merapi.

Setelah api di Tlogolele padam Sabtu siang, pemadaman api di Wonodoyo kembali ditangani BTNG Merapi. Dari penyelidikan sementara, kata Ngusman, titik api di Tlogolele juga akibat ulah manusia. Tidak jauh dari lokasi kebakaran, petugas menemukan sisa pembakaran arang.

Kebakaran di Gunung Bibi, Wonodoyo, juga membakar sekitar 500 meter pipa paralon yang menuju Dusun Wonopedut, Kecamatan Cepogo, dan Desa Suroteleng, Kecamatan Selo.

Menurut Sekretaris Kecamatan Cepogo Karyono Utomo, pihaknya mengupayakan bantuan untuk memperbaiki pipa air yang dibuat dari dana masyarakat dan bantuan Pemerintah Kabupaten Boyolali. Sambil menunggu perbaikan, warga mendapat pasokan air bersih dari Perum Perhutani.

Minimal 10 tahun

Pemulihan kondisi TNG Ciremai di Jawa Barat diperkirakan perlu waktu minimal 10 tahun. Kebakaran yang melalap 236 hektar lahan itu menghanguskan semak dan pepohonan. Pepohonan untuk penghijauan di Desa Setianegara, Kecamatan Cilimus, Kabupaten Kuningan, hangus terbakar. Sebagian lagi kering kepanasan. Bekas kebakaran dua tahun lalu juga belum pulih.

”Penanaman butuh tenaga ekstra karena wilayah bekas kebakaran hutan sebagian tidak terjangkau kendaraan bermotor. Untuk menumbuhkan pohon pinus tidak cukup waktu 5 tahun,” kata Kepala Seksi Pengelola TNG Ciremai Wilayah I Linggarjati Maman Surahman.

Menurut Maman, sebagian wilayah Gunung Ciremai yang terdiri atas semak-semak memang rawan kebakaran. ”Kebakaran terakhir yang kami tangani disebabkan bekas perapian perkemahan yang tidak dipadamkan secara sempurna. Sebelumnya karena pembakaran sampah dan puntung rokok,” ujarnya.

Pemadaman bukan hal yang mudah. Petugas hanya mempunyai satu kendaraan pemadam. Untuk memadamkan hutan, mereka harus bolak-balik naik turun gunung untuk menyedot air. Beratnya medan membuat kecepatan kendaraan terbatas, 30 kilometer per jam. Di sisi lain, api sangat mudah menjalar karena angin kencang. (NIT)


Anthony Lee

KEBAKARAN HUTAN DAN NEGERI ASAP

PDF

Print

E-mail

Sabtu, 06 Januari 2007

Musibah kebakaran hutan yang diikuti bencana asap yang menutupi jarak pandang dan mengganggu pernapasan nampaknya sudah menjadi langganan negeri ini. Riau sebagai salah satu provinsi yang menjadi langganan tetap musibah ini. Tercatat sejak 10-15 tahun terakhir ini bencana alam ini hampir tidak pernah lupa datang berkunjung. Indonesia sudah menjadi pemegang rekor kebakaran hutan terluas sepanjang sejarah. Pada mulanya rekor ini dipegang oleh Brazilia, dimana pada tahun 1963 sekitar 2 juta hektare hutan di negara ini hangus terbakar. Rekor ini kemudian dipecahkan oleh Indonesia pada tahun 1982/1983 yaitu di Kalimantan Timur dimana waktu itu sekitar 3,5 juta hektare hutan kita hangus dilalap sijago merah. Rekor ini kembali dipecahkan dengan angka yang lebih fantastis, dimana di beberapa wilayah Indonesia pada 1997/1998 api melalap 11,7 juta hektare hutan yang menghasilkan selimut tebal asap di Asia Tenggara. Angka ini pada tahun-tahun berikutnya menurun walaupun cenderung tidak terdokumentasi dengan baik, namun dominasi Indonesia tetap tak tertandingi. Citra Indonesia pun menjadi begitu buruk, lantaran tak mampu memadamkan kebakaran hutan secara tuntas.

Kerugian materil sudah tak terhitung jumlahnya akibat kebakaran hutan dan asap ini. Mulai dari nilai hutannya sendiri (kayu, margasatwa dan lingkungan), kerusakan lingkungan, kerusakan sarana dan prasarana serta harta penduduk yang terkadang ikut terbakar, biaya pengobatan para pasien, sampai kepada biaya yang terjadi karena gangguan pada trasportasi. Gangguan transportasi dapat berupa penundaan penerbangan, keterlambatan karena jarak pandang yang terbatas, atas lebih celaka lagi kalau terjadi musibah kecelakaan gara-gara asap. Musibah ini tidak hanya menimpa negeri yang punya hutan dan asap tersebut, melainkan juga merambat ke negeri tetangga seperti Singapura, Brunei Darussalam dan Malaysia. Sehingga selain mereka menyumbangkan tenaga dan dana bagi penaggulangan kebakaran hutan dan asap, mereka juga menyampaikan kritikan pedas bagi Indonesia.

Dalam jangka panjang juga timbul kerugian, karena para wisatawan akan menghindari daerah-daerah yang dianggap buruk dan semakin beban masalah kesehatan masyarakat semakin meningkat sementara sumber daya untuk layanan kesehatan masyarakat masih sangat kurang.

Penyebab Kebakaran

Penyebab timbulnya asap adalah kebakaran hutan. Di tanah air, hutan alam ini terbakar oleh beberapa faktor penyebab, yakni oleh ulah manusia dan faktor alam itu sendiri. Sudah jamak diketahui bahwa penyebab utama kebakaran hutan adalah kegiatan manusia, di antaranya sistem perladangan tradisional dari penduduk setempat yang berpindah-pindah, yang menggunakan metode pembakaran untuk membuka lahan. Namun, pembukaan lahan untuk perladangan berpindah tersebut umumnya relatif terbatas dan lebih terkendali, karena para petani juga mengerti akan arti penting hutan dan mereka telah mengikuti aturan pembakaran hutan secara turun-temurun. Kegiatan ini sudah ada sejak zaman dahulu kala, namun gangguan asap dan kebakaran hutan baru kita rasakan sekitar 15-20 tahun terakhir ini. Aktifitas ladang berpindah sering dijadikan kedok para penebang liar yang memanfaatkan hak pengusahaan hutan (HPH). Mereka bisa dari kalangan pemegang HPH untuk industri kayu maupun perkebunan kelapa sawit. Mereka melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar semata berdasarkan pertimbangan ekonomis: cepat, murah, dan praktis. Selain itu, perkebunan besar melakukan pembakaran lahan untuk menaikkan derajat keasaman (pH) tanah. Pembakaran mereka lakukan di musim kemarau yang kering, sehingga kebakaran tidak hanya terbatas pada areal yang disiapkan untuk pengembangan tanaman industri atau perkebunan, tetapi meluas ke hutan lindung, hutan produksi, dan lahan lainnya.

Penyebab lain adalah ulah para orang yang iseng dengan sengaja membakar suatu lahan dan kemudian merambat ke mana-mana. Di musim kemarau panjang, keadaan hutan memang serba kering, dedaunan yang berjatuhan di tanah sudah sangat kering dan layaknya seperti bahan bakar saja. Kondisi ini membuka kesempatan terjadinya kebakaran dahsyat walau diawali dari sebuah puntung rokok yang masih menyala. Kondisi kering diperburuk lagi dengan adanya hembusan angin yang relatif kencang di musim itu. Secara alamiah, kebakaran hutan dapat pula terjadi karena efek akumulasi panas cahaya matahari di bumi. Namun hal ini sangat jarang terjadi di negara seperti Indonesia.

Kerugian Asap dan Kebakaran Hutan Pada tahun 1997, asap tebal menyelimuti sebagian besar Asia Tenggara, yaitu Malaysia, Singapura, Thailand dan Brunei Darussalam. Bencana alam ini menjadi buah bibir dunia, bukan saja karena skalanya yang sangat besar-diperkirakan 70 juta orang di enam negara terkena dampaknya tetapi juga karena gangguan asap langsung atau tidak langsung yang ditimbulkannya. Di siang hari jarak pandang juga semakin terbatas, suasana terang bisa menjadi gelap, lalu lintas jalan merayap, pesawat udara dilarang terbang, tabrakan kapal-kapal tanker di laut dan lain sebagainya. Selain itu, polusi asap juga menimbulkan biaya ekonomi tinggi: yang dapat dirasakan segera setelah polusi terjadi, yaitu dalam bentuk absen kerja dan kegiatan bisnis yang terhambat, kegiatan pariwisata yang menurun, penundaan pesawat dan kecelakaan, belum lagi langkah-langkah darurat pemadaman kebakaran yang berbiaya tinggi. Bangsal-bangsal rumah-sakit dipenuhi para korban gangguan saluran pernapasan akut.

Polusi ini sangat mengganggu kesehatan masyarakat, menimbulkan berbagai masalah mulai dari jangka pendek berupa sakit tenggorokan, sakit mata, dan gangguan pernapasan, hingga jangka panjang berupa asma kronis, emfisema (paru-paru bengkak), kanker paru-paru, dan penyakit kulit. Para pakar ekonomi memperkirakan kerusakan akibat kebakaran dan asap di Indonesia setiap tahun mencapai miliaran dolar Amerika Serikat. Angka ini akan jauh lebih tinggi jika perkiran biaya yang dilakukan juga memasukkan nilai kehilangan keanekaragaman hayati dan hidupan liar di hutan serta dampak pemanasan global akibat peningkatan emisi karbon di atmosfir. Lebih jauh lagi, kerugian ini akan semakin besar bila dihitung dampak yang terjadi di negara tetangga, termasuk pola pandang mereka kepada Indonesia yang dianggap sebagai negara tidak mampu memahami arti penting lingkungan.

Solusi Permanen Data sepuluh tahun terakhir ini, memperlihatkan bahwa gangguan asap sudah menjadi gangguan tahunan di tanah air. Perbedaannya hanya terletak pada intensitas dan lama waktu terjadinya gangguan. Untuk itu perlu dipikirkan solusi permanen upaya penanggulangan asap ini. Kebakaran hutan dan asap yang ditimbulkannya tentu sangat berbahaya bagi lingkungan dan menimbulkan biaya tinggi baik secara regional maupun global. Akan tetapi memusatkan perhatian terhadap asap dan akibat-akibatnya hanya pada saat krisis terjadi tidak akan menyelesaikan masalah, bahkan malah dapat mengalihkan perhatian dari penyebab sesungguhnya.

Pemahaman yang lebih baik tentang faktor-faktor biofisik, sosial, dan politik yang menyebabkan masyarakat menyalakan api dan faktor-faktor lainnya adalah sangat penting dalam penanggulangan permasalahan ini. Sistem Hukum dan Perundangan Indonesia memang sudah sejak lama memiliki perangkat peraturan, hukum dan perundangan yang mengatur perihal perusakan lingkungan. Perangkat ini bahkan sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda sekalipun. Beberapa suku masyarakat tertentu bahkan memiliki pula peraturan adat menjaga kelestarian hutan. Namun nampaknya akhir-akhir ini hal ini tidak cukup efektif lagi, sehingga menurut hemat penulis sistem hukum dan perundangan tentang pencemaran lingkungan (termasuk gangguan asap) ini perlu disesuaikan. Prosedur penegakan hukum yang begitu panjang dapat merupakan hambatan penegakan hukum lingkungan itu sendiri. Diawali dari proses penyelidikan oleh polisi, dilanjutkan oleh kejaksaan, kemudian, diajukan ke meja hijau. Bila tertuduh merasa tidak puas dapat pula berlanjut ke Mahkamah Agung, sehingga bisa tidak selesai dalam kurun waktu satu tahun.

Sebagai perbandingan mungkin dapat kita simak contoh hukum yang penulis pernah tahu di negara lain. Di Australia pada musim panas, untuk kawasan hutan tertentu, bila kedapatan seseorang membawa korek api, merokok atau menyalakan api maka, polisi langsung memberikan denda tertentu tanpa proses penelitian, penyidikan dan persidangan di meja hijau. Logika yang mereka gunakan adalah bahwa jenis pelanggarannya sudah jelas, yaitu membawa benda atau melakukan aktifitas yang mungkin menyebabkan kebakaran hutan.

Sistem Pengamanan dan Pengawasan

Sistem pengaman menuju pencegahan selalu lebih baik dari pada penanggulangan setelah terjadinya kebakaran dan musibah asap. Beberapa negara sengaja melokalisisr hutan yang rawan terbakar dengan cara membangun parit pemisah suatu areal dengan areal lain, parit penutup akses ke lokasi tertentu dan lain sebagainya. Hal ini cukup efektif mengurangi terjadinya resiko kebakaran hutan.

Sistem pengawasan merupakan faktor penentu lain yang sangat pula menentukan keberhasilan pencegahan kebakaran hutan yang berujung pada datangnya musibah asap. Diperlukan pengawasan berkala, berupa patroli baik oleh aparat pemerintah, swasta maupun masyarakat terhadap daerah-daerah yang rawan kebakaran. Memang kalau dihitung biayanya cukup besar untuk mengawasi daerah yang begitu luas. Namun bila dibandingkan dengan kerugian yang akan dialami biala terjadi kebakaran, maka jumlah biaya ini akan sangat tidak berimbang. Dengan kata lain, biaya pengawasan jauh lebih kecil dari biaya penanggulangan akaibat kebakaran hutan tersebut.

Sistem Penanggulangan

Pembenahan penanggulangan pada saat dan setelah berlangsungnya kebakaran kebakaran hutan adalah sangat vital. Beberapa negara maju seperti Australia, Amerika Serikat, bahkan Malaysia telah melengkapi diri dengan tenaga profesional dan terlatih untuk tujuan ini. Para tenaga ini tentu dilengkapi dengan peralatan, bahan dan sarana dan prasarana lainnya. Beberapa tahun yang lalu Indonesia mendapat bantuan dari negara tetangga Malaysia yang dikenal dengan pasukan BOMBAnya. Terbukti memang bahwa persiapan yang lebih mapan dalam menghadapi permasalahan asap dan kebakaran hutan tentu akan memberikan hasil yang jauh lebih optimal. Sosialisasi Bahaya Asap dan Kebakaran Hutan Masalah asap dan kebakaran adalah masalah semua orang, sehingga pencegahan dan penaggulangannya pun tentu menjadi tanggung jawab kita bersama. Pemeliharaan, pencegahan, pengawasan dan pemadaman kebakaran sungguh tidak akan mampu ditanggulangi sendiri oleh petugas yang ditunjuk pemerintah. Masyarakat hendaknya mengetahui, memahami dan menghayati akan arti penting hutan, kerusakan yang disebabkan oleh kebakaran hutan itu sendiri.

Untuk itu peran mereka segenap anggota masyarakat dalam memelihara hutan, mencegah kebakaran hutan dan memadamkan kepakaran hutan perlu dipupuk setiap saat. Semoga hutan Indonesia senantiasa kita jaga bersama dan bencana asappun sirna dari bumi tercinta ini.

Kebakaran Hutan dan Lahan Riau: Kebijakan dan Dampaknya Bagi Kehidupan Manusia (1)

P R O L O G

Entah karena dosa siapa. Yang jelas, setiap kali memasuki musim kemarau masyarakat Riau “terpaksa” menghirup asap yang ditimbulkan dari bakaran hutan dan lahan di salah satu propinsi terkaya tersebut. Anehnya lagi kejadian serupa selalu saja terulang setiap tahunnya. Diawali dengan musim kemarau pendek (Februari – Maret) dan terus bersambung pada kemarau panjang (Juni – September). Intensitasnya juga semakin bertambah. Bila pada tahun 1992 , ketika kebakaran pertama kali dapat terdeteksi, titik api yang muncul masih dalam bilangan puluhan, saat ini titik api serupa sudah muncul disegala tempat yang masih mamiliki hutan asli. Jumlahnyapun sudah mencapai angka ratusan. Singapura dan Malaysia pernah melayangkan surat protes bernada keras agar Indonesia mengambil sikap yang tegas terhadap pelaku pembakaran. Brunei Darussalam sepertinya hanya tinggal menunggu waktu untuk marah karena kebakaran hutan sudah muncul di Kalimantan.

Abdurahman Wahid, sebagai orang No 1 telah memberikan tanggapan walaupun gejala kebakaran telah mulai terdeteksi pada awal tahun yang sama. Ketika itu (pertengahan tahun 2000) Menhutbun dan Meneg LH dimintanya untuk mengambil tindakan konkret sehingga Sonny Keraf sebagai Menteri Negara Lingkungan Hidup terpaksa mengeluarkan pernyataan bahwa keadaan kebakaran hutan tersebut sudah dalam bahaya. Dilapangan, Menhutbun ketika itu – Nurmahmudi Ismail – telah meminta agar semua kegiatan penyiapan lahan perkebunan dan hutan tanaman industri, yang menjadi penyebab kebakaran, untuk sementara dihentikan. Perusahaan-perusahaan yang terkait harus sesegera mungkin memadamkan api selambat-lambatnya dua minggu terhitung sejak 15 Maret 2000.

Dalam konteks kebijakan, dibentuklah Tim Yustisi Nasional dengan tugas menyelesaikan perkara kebakaran hutan dengan agenda utamanya mengindentifikasi keterlibatan perusahaan pemegang Hak Pengusahaan Hutan, pengusaha Hutan Tanaman Industri dan pengusaha Perkebunan.

Dari kesibukan tersebut diatas sepertinya Pemerintah memiliki niat baik untuk menangani kebakaran hutan. Namun sudah tepatkah tindakan tersebut mengingat hal dan perlakuan yang sama selalu saja terjadi pada saat kebakaran hutan mulai melanda. Dan hasilnya? Kebakaran selalu saja terjadi. Ini adalah jawaban yang tidak terbantahkan dari pertanyaan yang muncul mengenai kinerja pemerintah terhadap pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan. Singkatnya kita selalu saja ribut setelah kejadian terjadi dan tidak pernah ada upaya untuk melakukan pencegahan kongkrit agar kejadian serupa tidak terulang lagi.

Selama ini, penanganan kebakaran hutan dan lahan masih bersifat reaktif dan tidak komprehensif. Dengan penanganan yang sifatnya sementara itu sudah dapat dipastikan tidak akan dapat memecahkan persoalan utama yang menyebabkan sekaligus memicu kebakaran hutan dan lahan yang terjadi selama ini. Kesan yang muncul pada akhirnya adalah pemerintah hanya sibuk setelah kebakaran hutan terjadi dan sayangnya itupun terjadi setelah mendapatkan protes keras dari sejumlah negara tetangga. Sangat jelas kalau pemerintah tidak mau belajar dari pengalaman bencana kebakaran yang terjadi pada akhir tahun 1997 yang menyebabkan terganggunya ekonomi, ekologi dan hubungan baik antar negara.

BERBAGAI DAMPAK YANG DITIMBULKAN

Tulisan ini mencoba untuk mengupas dampak-dampak yang ditimbulkan dari kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Riau dari berbagai aspek dan diakhiri dengan beberapa kesimpulan dan saran-saran apa dan bagaimana yang seharusnya dilakukan oleh Pemerintah Indonesia berkenaan dengan kebakaran hutan dan lahan tersebut.

Dalam dua bulan terakhir, sejumlah NGO dan Instansi pemerintah di Riau yang konsern terhadap kebakaran hutan dan lahan di Riau berkumpul untuk mencoba menyikapi lebih jauh dampak-dampak yang ditimbulkan dari kebakaran hutan dan beberapa pokok penting lainnya yang harapannya bisa dijadikan masukan dalam mencegah maupun menanggulangi kebakaran hutan.

Dari diskusi bergulir tersebut, beberapa aspek yang terindentifikasi sebagai dampak yang ditimbulkan dari kebakaran hutan tersebut adalah:

1. Dampak Terhadap Sosial, Budaya dan Ekonomi

a. Hilangnya sejumlah mata pencaharian masyarakat di dan sekitar hutan. Sejumlah masyarakat yang selama ini menggantungkan hidupnya dari hasil hutan tidak mampu melakukan aktivitasnya. Asap yang ditimbulkan dari kebakaran tersebut sedikit banyak mengganggu aktivitasnya yang secara otomatis juga ikut mempengaruhi penghasilannya. Setelah kebakaran usaipun dipastikan bahwa masyarakat kehilangan sejumlah areal dimana ia biasa mengambil hasil hutan tersebut seperti rotan, karet dsb.

b. Terganggunya aktivitas sehari-hari
Adanya gangguan asap secara otomatis juga mengganggu aktivitas yang dilakukan manusia sehari-hari. Misalnya pada pagi hari sebagian orang tidak dapat melaksanakan aktivitasnya karena sulitnya sinar matahari menembus udara yang penuh dengan asap. Demikian pula terhadap banyak aktivoitas yang menuntut manusia untuk berada di luar ruangan. Adanya gangguan asap akan mengurangi intensitas dirinya untuk berada di luar ruangan.

c. Peningkatan jumlah Hama
Sejumlah spesies dikatakan sebagai hama bila keberadaan dan aktivitasnya mengganggu proses produksi manusia. Bila tidak “mencampuri” urusan produksi manusia maka ia akan tetap menjadi spesies sebagaimana spesies yang lain.

Sejumlah spesies yang potensial untuk menjadi hama tersebut selama ini berada di hutan dan melakukan interaksi dengan lingkungannya membentuk rantai kehidupan. Kebakaran yang terjadi justru memaksanya terlempar dari rantai ekosistem tersebut. Dan dalam beberapa kasus ‘ia’ masuk dalam komunitas manusia dan berubah fungsi menjadi hama dengan merusak proses produksi manusia yang ia tumpangi atau dilaluinya.

Hama itu sendiri tidak harus berbentuk kecil. Gajah dan beberapa binatang bertubuh besar lainnya ‘harus’ memorakmorandakan kawasan yang dilaluinya dalam upaya menyelamatkan diri dan dalam upaya menemukan habitat barunya karena habitat lamanya telah musnah terbakar.

d. Terganggunya kesehatan
Peningkatan jumlah asap secara signifikan menjadi penyebab utama munculnya penyakit ISPA atau Infeksi Saluran Pernafasan. Gejalanya bisa ditandai dengan rasa sesak di dada dan mata agak berair. Untuk Riau kasus yang paling sering terjadi menimpa di daerah Kerinci, Kabupaten Pelalawan (dulu Kabupaten Kampar) dan bahkan di Pekanbaru sendiri lebih dari 200 orang harus dirawat di rumah sakit akibat asap tersebut.

e. Produktivitas menurun
Munculnya asap juga menghalangi produktivitas manusia. Walaupun kita bisa keluar dengan menggunakan masker tetapi sinar matahari dipagi hari tidak mampu menembus ketebalan asap yang ada. Secara otomatis waktu kerja seseorangpun berkurang karena ia harus menunggu sedikit lama agar matahari mampu memberikan sinar terangnya.

Ketebalan asap juga memaksa orang menggunakan masker yang sedikit banyak mengganggu aktivitasnya sehari-hari.

2. Dampak Terhadap Ekologis dan Kerusakan Lingkungan

a. Hilangnya sejumlah spesies
Kebakaran bukan hanya meluluh lantakkan berjenis-jenis pohon namun juga menghancurkan berbagai jenis habitat satwa lainnya. Umumnya satwa yang ikut musnah ini akibat terperangkap oleh asap dan sulitnya jalan keluar karena api telah mengepung dari segala penjuru. Belum ada penelitian yang mendalam seberapa banyak spesies yang ikut tebakar dalam kebakaran hutan di Indonesia.

b. Ancaman erosi
Kebakaran yang terjadi di lereng-lereng pegunungan ataupun di dataran tinggi akan memusnahkan sejumlah tanaman yang juga berfungsi menahan laju tanah pada lapisan atas untuk tidak terjadi erosi. Pada saat hujan turun dan ketika run off terjadi, ketiadaan akar tanah - akibat terbakar - sebagai pengikat akan menyebabkan tanah ikut terbawa oleh hujan ke bawah yang pada akhirnya potensial sekali menimbulkan bukan hanya erosi tetapi juga longsor.

c. Perubahan fungsi pemanfaatan dan peruntukan lahan
Hutan sebelum terbakar secara otomatis memiliki banyak fungsi. Sebagai catchment area, penyaring karbondioksida maupun sebagai mata rantai dari suatu ekosistem yang lebih besar yang menjaga keseimbangan planet bumi. Ketika hutan tersebut terbakar fungsi catchment area tersebut juga hilang dan karbondioksida tidak lagi disaring namun melayang-layang diudara. Dalam suatu ekosistem besar, panas matahari tidak dapat terserap dengan baik karena hilangnya fungsi serapan dari hutan yang telah terbakar tersebut.

Hutan itu sendiri mengalami perubahan peruntukkan menjadi lahan-lahan perkebunan dan kalaupun tidak maka ia akan menjadi padang ilalang yang akan membutuhkan waktu lama untuk kembali pada fungsinya semula.

d. Penurunan kualitas air
Kebakaran hutan memang tidak secara signifikan menyebabkan perubahan kualitas air. Kualitas air yang berubah ini lebih diakibatkan faktor erosi yang muncul di bagian hulu. Ketika air hujan tidak lagi memiliki penghalang dalam menahan lajunya maka ia akan membawa seluruh butir tanah yang ada di atasnya untuk masuk kedalam sungai-sungai yang ada. Akibatnya adalah sungai menjadi sedikit keruh. Hal ini akan terus berulang apabila ada hujan di atas gunung ataupun di hulu sungai sana.

e. Terganggunya ekosistem terumbu karang
Terganggunya ekosistem terumbu karang lebih disebabkan faktor asap. Tebalnya asap menyebabkan matahari sulit untuk menembus dalamnya lautan. Pada akhirnya hal ini akan membuat terumbu karang dan beberapa spesies lainnya menjadi sedikit terhalang untuk melakukan fotosintesa.

f. Menurunnya devisa negara
Turunnya produktivitas secara otomatis mempengaruhi perekonomian mikro yang pada akhirnya turut mempengaruhi pendapatan negara.

g. Sedimentasi di aliran sungai
Tebalnya lumpur yang terbawa erosi akan mengalami pengendapan di bagian hilir sungai. Ancaman yang muncul adalah meluapnya sungai bersangkutan akibat erosis yang terus menerus.

3. Dampak Terhadap Hubungan Antar negara

Asap yang ditimbulkan dari kebakaran tersebut sayangnya tidak mengenal batas administratif. Asap tersebut justru terbawa angin ke negara tetangga sehingga sebagian negara tetangga ikut menghirup asap yang ditimbulkan dari kebakaran di negara Indonesia. Akibatnya adalah hubungan antara negara menjadi terganggu dengan munculnya protes keras dari Malaysia dan Singapura kepada Indonesia agar kita bisa secepatnya melokalisir kebakaran hutan agar asap yang ditimbulkannya tidak semakin tebal.

Yang menarik, justru akibat munculnya protes dari tetangga inilah pemerintah Indonesia seperti kebakaran jenggot dengan menyibukkan diri dan berubah fungsi sebagai barisan pemadam kebakaran. Hilangnya sejumlah spesies dan berbagai dampak yang ditimbulkan ternyata kalah penting dibanding jeweran dari tetangga.

4. Dampak terhadap Perhubungan dan Pariwisata

Tebalnya asap juga mengganggu transportasi udara. Sering sekali terdengar sebuah pesawat tidak bisa turun di satu tempat karena tebalnya asap yang melingkungi tempat tersebut. Sudah tentu hal ini akan mengganggu bisnis pariwisata karena keengganan orang untuk berada di temapt yang dipenuhi asap.

KEBIJAKAN PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN
KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN

Dari berbagai dampak yang muncul tersebut seharusnya pemerintah mulai bisa mereka-reka bencana musiman apa sebenarnya yang sering menghampiri Indonesia dari tahun ke tahun dan dampak apa yang ditimbulkan dari bencana tersebut. Namun, untuk tidak menyebut pemerintahan kita keras kepala dan sedikit tuli untuk melakukan refleksi, sepertinya kita lebih siap menjadi barisan pemadam kebakaran dibanding mempersiapkan seperangkat aturan yang mampu paling tidak meminimalisir kemungkinan terjadi kebakaran hutan dan lahan dimasa yang akan datang.

Padahal lagi, sejak bencana kebakaran hutan yang terjadi di tahun 1997, berbagai studi dan kajian telah dilakukan. Namun entah mengapa hingga sekarang ini pemerintah sepertinya tidak mampu memanfaatkan berbagai kajian yang telah dilakukan tersebut. Bahkan sejumlah bantuan yang diantaranya datang dari UNDP dan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup yang pada tahun 1998 telah menghasilkan Rancang Tindak Pengelolaan Bencana kebakaran-pun seolah tidak mampu dimanfaatkan.

Fakultas Kehutanan IPB sendiri pernah menelurkan 14 rancangan kebijakan yang dalam prosesnya dilakukan bersama-sama Departemen Kehutanan dan International Tropical Timber Organization (ITTO). Seluruh kajian tersebut menghasilkan rekomendasi kebijakan operasional yang, sekali lagi, belum diadopsi menjadi kebijakan pemerintah.

Sementara berbagai kajian belum diadopsi, walaupun pemerintah secara eksplisit meminta untuk itu, UU Kehutanan no 41 tahun 1999 dan rancangan pemerintah tentang Perlindungan Hutan dan Konservasi alam juga tidak memberikan perhatian yang memadai bagi upaya penanggulangan kebakaran. Contohnya, larangan membakar hutan yang terdapat dalam UU Kehutanan ternyata dapat dimentahkan untuk tujuan-tujuan khusus sepanjang mendapat izin dari pejabat yang berwenang (pasal 50 ayat 3 huruf d). Dan dengan kebiasaan peraturan undang-undang yang selama ini ada, pengartikulasian dari pasal tersebut tentu saja bisa menurut kepentingan apa dan siapa yang ada pada saat itu. Kasarnya, pasal ini bisa membuka peluang dihidupkannya kembali cara pembukaan lahan dengan cara pembakaran yang selama ini menjadi penyebab bencana kebakaran hutan. Bandingkan dengan negara Malaysia yang memberlakukan kebijakan tegas (tanpa kecuali) tentang larangan pembukaan lahan dengan cara bakar. UU ini juga secara tegas memberikan denda sebesar 500.000 ringgit dan/ 5 tahun penjara baik bagi pemilik mapun penggarap lahan.

Yang lebih herannya lagi, tidak ada satupun pasal dari UU No 41/99 ini yang secara substansial mengatur tentang pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan. Demikian pula halnya dalam RPP Perlindungan Hutan dan PP No. 6 tahun 99 tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan pada hutan Produksi tidak memberikan referensi tentang pencegahan kebakaran hutan dalam konteks pengusahaan hutan.

Otomatis, dengan melihat kebijakan-kebijakan yang ada selama ini, Pemerintah Indonesia belum memiliki sense of crisis terhadap berbagai kasus kebakaran dan dampak yang ditimbulkannya. Sehingga kesan yang muncul kemudian pemerintah hanya memiliki kebijakan setengah hati untuk menanggulangi dan mencegah kebakaran hutan.

Upaya Bapedal menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pengendalian Praktek Pembakaran, Kebakaran dan Dampaknya juga dikhawatirkan tidak efektif dikarenakan sebagaimana perangkat peraturan pemerintah (PP) hanyalah mengimplementasikan mandat dari suatu Undang-undang. Sedangkan Undang-Undang No 41 tentang Kehutanan maupun UU No. 23/97 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup tidak memberikan mandat secara spesifik untuk mengembangkan PP tentang kebakaran hutan. Bentuk PP ini juga memiliki keterbatasan dalam memberlakukan instrumen-instrumen command and control (paksaan) maupun insentif ekonomi. Instrumen-instrumen tersebut harus dalam bentuk UU (DPR RI bersama Pemerintah).

Dengan demikian adalah suatu hal yang logis apabila masalah pencegahan dan penanggulanan kebakaran hutan dan lahan segera menjadi perhatian dan secara cepat ketentuan-ketentuan tersebut dirumuskan dalam suatu UU yang memuat prinsip-prinsip pencegahan, pemantauan dan penanggulangan yang komprehensif dan terintegrasi.

KESIMPULAN DAN SARAN

Akibat kebakaran hutan tidak hanya mengakibatkan kerugian ekonomis dan kerusakan ekosistem. Kita juga dicap sebagai bangsa dan masyarakat yang tidak bisa dan tidak mau memelihara kekayaan alam. Padahal kawasan hutan di Indonesia luasnya mencapai 10 persen dari hutan tropis yang ada di dunia atau ke tiga terbesar setelah Zaire dan Brasil.

Bukan hanya itu. Asap tebal yang mengganggu ruang udara tetangga membuat sejumlah negara mencap kita sebagai bukan tetangga yang baik. Tidak hanya faktor kesehatan dan kegiatan masyarakat yang terganggu, tetapi lebih jauh menyangkut terganggunya navigasi penerbangan dan pelayaran.

Awal tahun ini, disaat kita masih sibuk dengan berbagai upaya pemulihan yang direcoki dengan berbagai persoalan residu orde baru, bukannya tidak mungkin musibah itu berulang. Kebakaran hutan seperti pada tahun 1997 terjadi lagi dalam keadaan kita serba tergagap-gagap mengahadapi kebusukan masa lalu yang satu persatu terbuka.

Mengutip prediksi para ahli bahwa El Nino akan terjadi pada pertengahan tahun ini, kemungkinan itu sepertinya semakin besar. Ditambah dengan kelalaian dan kelengahan kita, kebakaran hutan dengan materi dan harga diri lebih dahsyat akan terulang. Kalau itu terjadi, lagi-lagi kita akan menerima cap buruk sebagai bangsa yang tidak bisa mensyukuri anugrah dan kebesaran alam. Indonesia bukan hanya dicap buruk sebagai tempat yang subur untuk pelanggaran HAM, KKN dan perampasan serakah terhadap kekayaan alam beserta isinya, melainkan juga negara dengan warga dan pemerintah yang tidak tahu berterimakasih, sehingga tidak layak dijadikan teman.

Kepercayaan rasanya semakin jadi barang mewah dan mahal. Terus menerus kita membangun kepercayaan. Kepercayaan sekarang menjadi kata kunci. Dengan kepercayaan terbuka kemungkinan-kemungkinan rasa simpatik dan bantuan-bantuan finansial lain yang kita butuhkan.

Artinya dalam sekian sarana membangun kepercayaan keluar dan ke dalam kita masukkan keseriusan kita mengurus hutan. Kelalaian dan kelengahan kita menangani kebakaran hutan adalah pekerjaan mendesak yang harus segera diambil dan dilakukan. Hambatan psikologis dan politis dalam soal hutan tidaklah serumit menangani pelanggaran HAM di Timor-Timur, Kasus Aceh, pengadilan korupsi maha besar, pemulihan ekonomi yang berkesan maju mudur apalagi berurusan dengan lembaga Mahkamah Agung. Masalahnya bagaimana pemerintah ini bisa lebih cekatan dalam menangani dan mengeluarkan perintah, diikuti dengan tindakan serius dan nyata menghentikan merebaknya kebakaran hutan. Kalau tidak cekatan, kebakaran hutan maha dahsyat tahun 1997, jangan disesali, akan terulang. wallahualam bissawab. [selesai]

Kebakaran Hutan dan Lahan

Kebakaran hutan dan lahan seakan sudah menjadi "tradisi" tahunan di Indonesia terutama setiap kali musim kemarau datang. Pada kejadian kebakaran berskala besar di tahun 1997-98, diestimasikan sekitar 10 juta hektar lahan yang rusak atau terbakar, dengan kerugian untuk Indonesia terhitung 3 milyar dollar Amerika. Kejadian ini sekaligus melepaskan emisi gas rumah kaca (GRK) sebanyak 0,81-2,57 Gigaton karbon ke atmosfer (setara dengan 13-40% total emisi karbon dunia yang dihasilkan dari bahan bakar fosil per tahunnya) yang berarti menambah kontribusi terhadap perubahan iklim dan pemanasan global.

Dampak penting dari kebakaran hutan dan lahan sangat dirasakan terutama oleh masyarakat yang menggantungkan hidupnya kepada hutan, satwa liar (seperti gajah, harimau dan orang utan) yang kehilangan habitatnya, sektor transportasi karena terganggunya jadwal penerbangan dan juga masyarakat secara keseluruhan yang terganggu kesehatannya karena terpapar polusi asap dari kebakaran. Tercatat sekitar 70 juta orang di enam Negara di lingkup ASEAN terganggu kesehatannya karena menghirup asap yang diekspor dari kebakaran di Indonesia pada tahun 1997-98.

Penyebab utama dari kebakaran hutan dan lahan adalah ulah manusia yang menggunakan api dalam upaya pembukaan hutan dan lahan untuk hutan tanaman industri/HTI, perkebunan, pertanian, dll (lihat Gambar 1). Selain itu, kebakaran diperparah akibat meningkatnya pemanasan global itu - kemarau ekstrim, yang seringkali dikaitkan dengan pengaruh iklim El Niño, memberikan kondisi ideal untuk terjadinya kebakaran hutan dan lahan.


Setiap tahunnya dalam musim kemarau, hampir berturut-turut, kejadian kebakaran hutan dan lahan berulang dengan berbagai tingkatan. Pada tahun 2002 dan 2005, kebakaran hutan dan lahan terjadi kembali dengan skala yang cukup besar terutama diakibatkan oleh konversi hutan di lahan gambut. Dari data yang terkumpul terhitung sejak 1997-98, rata-rata 80% kebakaran hutan dan lahan terjadi di lahan gambut. Data yang dianalisis WWF-Indonesia menunjukkan bahwa di Provinsi Kalimantan Tengah mayoritas kejadian kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2002-2003 terjadi di lahan gambut sedangkan di Provinsi Riau dalam periode tahun 2001-2006, sekitar 67% hotspots (titik panas) terjadi di lahan gambut.

Data terakhir berdasarkan pantauan koalisi LSM di Riau, Eyes on the Forest, antara 1-31 Juli 2006, terdapat 56% titik panas yang ditemukan di Provinsi Riau, terdapat pada lahan gambut. Pada periode yang sama, hampir 30% dari titik panas yang terdeteksi di Kalimantan Barat juga terdapat pada tanah gambut.

Hutan pada lahan gambut mempunyai peranan penting dalam penyimpanan karbon (30% kapasitas penyimpanan karbon global dalam tanah) dan moderasi iklim sekaligus memberikan manfaat keanekaragaman hayati, pengatur tata air, dan pendukung kehidupan masyarakat. Indonesia memiliki 20 juta ha lahan gambut yang terutama terletak di Sumatera (Riau memiliki 4 juta ha) dan Kalimantan.


Pondasi utama dari lahan gambut yang baik adalah air. Bila terjadi pembukaan hutan gambut maka hal ini akan mempengaruhi unit hidrologinya. Dengan sifat gambut yang seperti spons (menyerap air), maka pada saat pohon ditebang dan lahannya dibuka, akan terjadi subsidensi sehingga tanah gambut yang sifatnya hidropobik tidak akan dapat lagi menyerap air dan kemudian mengering. Dalam proses ini, terjadilah pelepasan karbon dan sekaligus mengakibatkan lahan gambut rentan terhadap kebakaran yang pada gilirannya dapat menyumbangkan pelepasan emisi karbon lebih lanjut.

Menurut Data Kementerian Lingkungan Hidup, diperkirakan lahan gambut di Riau saja menyimpan kandungan karbon sebesar 14.605 juta ton. Bila pembukaan lahan gambut dibiarkan apalagi diikuti dengan pembakaran hutan dan lahan, maka dapat dibayangkan berapa banyak karbon yang terlepas ke atmosfer dan pemanasan global ataupun perubahan iklim menjadi lebih cepat terjadi sekaligus dampak ikutan seperti asap dan lainnya akan terus dirasakan oleh masyarakat setiap tahunnya.

Untuk itu, WWF-Indonesia menghimbau pihak pemerintah, swasta dan masyarakat luas untuk bersama-sama berbuat mencegah kejadian kebakaran hutan dan lahan terutama:

  • Pembukaan lahan gambut harus dihentikan dan semua lahan gambut harus dilindungi dan dikelola secara seksama dengan memperhatikan tata hidrologi secara makro dan potensi lepasnya emisi karbon ke atmosfer.
  • Sektor swasta harus menerapkan praktek pengelolaan lestari dan bertanggung jawab, termasuk meniadakan pembakaran lahan dan melindungi daerah-daerah yang memiliki keanekaragaman hayati di sekitar konsesi mereka.
  • Harus ada mekanisme terpadu untuk mengkoordinasi pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan, mensinergikan dan menerapkan peraturan terutama terkait perlindungan lingkungan.
  • Masyarakat setempat harus diberdayakan oleh pemerintah dan sektor swasta dalam pengelolaan lahan yang lestari, terutama membantu petani/pekebun skala kecil dalam proses transfer ilmu dan teknologi untuk menerapkan pembukaan lahan tanpa bakar.

KEBAKARAN HUTAN DI INDONESIA KONTRIBUSI POSITIF GLOBAL WARMING


Oleh : Sandhi Setya P

Awalnya

Pada bulan September 2007 merupakan hari kebakaran hutan di pulau Jawa. Seperti yang diberitakan di media www.okezone.com bahwa telah terjadi kebakaran hutan di Madiun. Kebakaran hutan yang melanda kawasan hutan jati dan hutan pinus di Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Saradan, KPH Madiun, dan KPH Lawu. Maka lengkaplah sudah kebakaran hutan di Indonesia ini yang selama ini telah menimpa di pulau yang kaya dengan hasil hutannya seperti Kalimantan dan Sumatera.

Selain itu adaptasi di Indonesia terkait dampak perubahan iklim global membutuhkan kerja ekstra keras, khususnya dari pemerintah. Selain ketidaksiapan data-data dampak perubahan iklim, pemahaman di tingkat daerah juga masih rendah. Ketika pemerintah pusat di Jakarta membahas upaya adaptasi menjelang Konferensi Para Pihak Ke-13 (COP-13) Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) di Bali akhir tahun ini.

Hal ini akan menambah lagi kontribusi positif permasalahan global warming yang terjadi di dunia sekarang ini. Kebakaran hutan di Indonesia memiliki andil yang cukup besar dengan fenomena bumi makin panas. Karena dengan adanya kebakaran hutan akan memberikan efek gas rumah kaca yang nantinya akan memberikan efek yang sangat besar. Karena gas CO2 yang diberikan akan memberikan kontribusi positif global warming.

Dari tahun ke tahun negara-negara berkembang maupun negara maju memikirkan solusi yang tepat untuk menangani kasus kebakaran hutan ini. Di akhir tahun 1997 dan awal tahun 1998, dunia dapat menyaksikan dan mengamati betapa sedih dan mengerikan pada saat api membinasakan berjuta-juta hektar hutan tropika di Indonesia. Peristiwa kebakaran yang merusak tersebut mengakibatkan terjadinya lintasan panjang di Pulau Sumatera dan Kalimantan, berbentuk selimut asap yang tebal dan secara serius membahayakan kesehatan manusia. Kebakaran ini juga membahayakan keamanan perjalanan udara serta menyebabkan kerugian ekonomi yang sangat besar di seluruh kawasan.

Manusia Faktor Utamanya

Dapat kita bedakan kebakaran hutan memiliki dua tipe yaitu kebakaran hutan secara normal dan tidak normal. Yang menjadi perbedaan adalah proses terjadi kebakaran hutan tersebut, kebakaran hutan secara normal disebabkan oleh pengaruh alam yang terjadi dalm selang waktu yang sangat begitu lama (hingga 17500 tahun). Hal ini dibuktikan adanya aktifitas radioaktifitas pada kayu arang yang ada di Kalimantan. Dan ini merupakan ciri dari periode Glasial Kuarter.

Tetapi kebakaran hutan pada akhir-akhir ini dipicu oleh tangan manusia yang mengakibatkan kebakaran yang sangat hebat dan dalam jangka waktu pendek.

Peningkatan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) yaitu CO2, CH4 (methan), NO2, SF6, dan PFC akibat aktivitas manusia menyebabkan meningkatnya radiasi yang terperangkap dalam atmosfir. Hal ini menyebabkan fenomena Pemanasan Global yang menyebabkan perubahan iklim, yaitu perubahan pada unsur-unsur iklim seperti : naiknya suhu permukaan bumi, meningkatnya penguapan udara, berubahnya pola curah hujan dan tekanan udara. Sebagai contoh telah mencairnya salju/es di puncak Gunung Jayawijaya dan di Argentina.

Manusia merupakan faktor utamanya. Apabila kebakaran yang terjadi merambah lebih luas akan mengkibatan emisivitas akan bertambah besar secara matematis dapat kita tuliskan

Di mana P merupakan daya emisivitas yang diakibatkan oleh radiasi benda hitam, s merupakan konstanta Boltzman, e merupakan tingkat emisivitas (semakin hitam bernilai mendekati 1), T merupakan suhu, A merupakan luasan yang terkena radiasi.

Oleh sebab itu semakin banyak manusia membakar hutan, maka akan tercipta radiasi benda hitam yang merupakan cikal bakal terjadi global warming. Karena radiasi benda hitam ini yaitu radiasi yang dipancarkan oleh benda hitam yang ketika menerima energi tidak dapat keluar dari sistem tersebut dan memiliki energi yang cukup besar.

Banyak Cara yang Ditempuh

Pada tahun 1998 dengan bantuan dari ICRAF, UNESCO, dan European Commision Joint Research Centre, CIFOR (Center for International Forestry Research) mengumpulkan laporan yang memuat latar belakang peristiwa kebakaran hutan di Indonesia dengan judul "A Review of Forest Fire Project in Indonesia: 1982 – 1998". Buku tersebut merangkum beberapa peristiwa kebakaran penting di kawasan Asia Tenggara yang terjadi selama kurun waktu 2 dasawarsa lalu, pemikiran umum tentang sebab dan dampaknya, serta serangkaian proyek yang menangani masalah kebakaran.

Laporan tentang kebakaran yang dikeluarkan CIFOR menunjukan bahwa sebelum tahun 1994, lembaga-lembaga serta pemerintah di seluruh dunia menyediakan bantuan terutama dalam bentuk bantuan darurat (emergency) jangka pendek, dukungan manajemen, serta perlengkapan teknik dan pelatihan. Kebakaran lebih hebat yang baru-baru ini terjadi, bagaimanapun juga, banyak mengundang perhatian dan upaya untuk memahami dan menyoroti penyebab utamanya.

Pada akhir tahun 1997, dimulai suatu prakarsa multi-nasional secara intensif yang memerlukan penggunaan gambaran satelit dengan resolusi tinggi untuk memantau bencana kebakaran serta memetakan kawasan yang terbakar.

Di akhir 1997, ilmuwan CIFOR dan ICRAF mengadakan pertemuan dengan perwakilan pemerintah Amerika Seikat untuk merencanakan suatu studi mendalam tentang penyebab dan dampak kebakaran dengan jangka waktu 3 tahun. Kegiatan ini akan dibiayai oleh US Forest Service dan US Agency for International Development. Dalam rangka membantu proses analisa penyebab kebakaran serta penyediaan program-program dasar pengembangan sistem pemantauan kebakaran yang lebih baik, maka akan dilakukan suatu kegiatan yang mengkombinasikan penginderaan jarak jauh dengan kajian kondisi sosial setempat.

Pada tanggal 30 Agustus 2007 di Jakarta diadakan Workshop Penggunaan Automatic Wildfire Surveillance System (AWFS). Dalam Rangka Pencegahan Kebakaran Hutan Dan Lahan. Workshop ini diselenggarakan oleh Departemen Pertanian bekerjasama dengan, Departemen Kehutanan, Kementrian Lingkungan Hidup, Fire Watch dan PT. Graha Elektro Tama. Workshop dibuka secara resmi oleh Dirjen Perkebunan Departemen Pertanian, dihadiri oleh Mr. Joachim Dreibach dari Fire Watch Switzerland mempresentasikan mekanisme kerja alat deteksi kebakaran kebun/lahan.

Diharapkan dengan adanya workshop ini akan memberikan solusi yang mampu mengurangi dan memberikan solusi preventif untuk mencegah kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia.

Menurut Menteri Negara Riset dan Teknologi (Menristek) Kusmayanto Kadiman, pemerintah telah membangun sistem peringatan dini kebakaran hutan yang dioperasikan di Departemen Kehutanan sehingga diharapkan dapat mencegah dan mengurangi kebakaran hutan di Indonesia. Sistem peringatan dini tersebut, apabila terjadi kebakaran hutan, yang mengeluarkan adalah Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG).

Selain itu, juga ada berbagai teknologi yang dimungkinkan kalau sampai terjadi kebakaran hutan atau untuk mencegahnya diantaranya dilakukan dengan menggunakan teknologi modifikasi cuaca atau hujan buatan.

Sementara itu, Menteri Kehutanan dalam sambutan tertulis yang dibacakan Staf Ahli Menteri Bidang Kemitraan Kehutanan, Sunaryo, menyampaikan, deforestasi (kerusakan hutan) secara besar-besaran telah terjadi beberapa abad yang lalu di negara-negara industri, namun saat ini telah bergeser ke negara-negara berkembang termasuk Indonesia.

Pada giliran terjadinya deforestasi di negara berkembang, hutan di dunia sudah tinggal sedikit (30% dari luas daratan di dunia), sehingga kerusakan hutan saat ini menjadi penting bahkan sangat penting bila dikaitkan dengan adanya perubahan iklim.

Disebutkan, dalam Laporan Intergovernmental Panel Climate Change (AR4), emisi CO2 akibat deforestasi sebesar 5,8 giga ton setiap tahunnya, biaya untuk menurunkan CO2 sangat mahal. Menurut Stern, untuk mengurangi emisi global sebesar 50% akan membutuhkan biaya sebesar $5-$15 milyar setiap tahunnya, dengan demikian maka pencegahan terjadinya deforestasi akan menjadi lebih efisien.

Langkah tersebut merupakan langkah yang baik, dan dapat menghindari resiko-resiko yang membahayakan pada masa yang akan datang. Jika investasi dilakukan atau dikelola secara baik, akan ada peluang-peluang yang baik bagi pertumbuhan dan pembangunan di masa yang akan datang

Jika perubahan iklim tidak diperhatikan atau dipahami sedini mungkin, kemampuan Negara untuk mewujudkan kesejahteraan mungkin akan terganggu oleh meningkatnya penyakit dan banyak bencana lainnya.

Apabila hutan di Indonesia ini dirubah menjadi lebih baik, yaitu dalam keadaan yang tidak perlu untuk diubah menjadi bahan atau sebagai tumbal kemajuan teknologi, hutan akan memiliki dampak positif bagi kehidupan seluruh orang banyak dan mengatur kesetimbangan iklim di bumi. Juga karena teknologi yang baik adalah tekhologi yang menyelamatkan alam sekitar atau disebut juga dengan tekhnologi yang ramah akan lingkungan baik abiotik, maupun biotiknya.

Kebakaran hutan di Indonesia ini akan memberikan kontribusi yang positif untuk terciptanya fenomena global warming . Civil society (masyarakat madani) adalah masyarakat yang bisa memberikan kontribusi yang positif bagi alam sekitar dan mampu untuk melestarikan alam tersebut untuk kehidupan di masa depan.

Mencegah Kebakaran Hutan

Posted in Tajuk Rencana by Redaksi on Juli 10th, 2007

Musim kemarau yang berkepanjangan sering membawa berbagai dampak, baik positif maupun negatif. Keduanya bagai dua sisi mata uang yang berbeda namun sulit dipisahkan. Dampak positif yang ditimbulkannya harus diambil manfaatnya secara maksimal. Sementara dampak negatif harus diantisipasi dan ditanggulangi dengan bijaksana.
Jika kita belajar dari kejadian masa lalu, periode sekarang ini banyak memunculkan peristiwa yang memilukan bagi eksistensi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Misalnya kebakaran hutan. Kebakaran hutan yang selama ini terjadi dan menimbulkan bahaya kabut asap, telah menimbulkan banyak persoalan beruntun. Misalnya menggejalanya penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) bagi masyarakat di sekitar hutan yang terbakar.
Tidak hanya menyengsarakan masyarakat dalam negeri, problema ini juga meresahkan negara-negara tetangga. Ketika itu, negara-negara telah mendesak agar Indonesia untuk sesegera mungkin menangani bahaya kabut asap yang muncul setiap tahun dengan memberantas pembakaran hutan. Organisasi bangsa-bangsa di Asia Tenggara (ASEAN) pun telah berulangkali mengingatkan agar polusi akibat kabut asap yang telah mengganggu perekonomian dan membuat turis lari supaya dituntaskan.
Masalah kabut asap telah menjadi problema regional. Telah berulangkali seruan agar kebakaran hutan supaya dapat diminimalisir, akan tetap hasilnya tak kunjung membawa perubahan nyata. Problema ini terus berulang dan berulang lagi. Disinilah diperlukan upaya serius dari pemerintah dan masyarakat luas, khususnya dalam pengelolaan lingkungan.
Bahkan di siang hari pun, cuaca sepertinya mendung, namun udara terasa sangat panas. Ini tentunya suatu kondisi yang tak lazim. Sebuah kondisi yang sangat meresahkan masyarakat, khususnya mereka yang memiliki riwayat kesehatan yang sangat sensitif bagi udara kotor.
Memang munculnya kabut asap ini juga dipengaruhi oleh musim kemarau yang berkepanjangan. Akan tetapi pengaruh kebakaran hutan menempati porsi yang sangat besar. Untuk itu, jika ingin segera dapat mengatasinya, tentunya kebakaran hutan harus dapat diminimalisir. Jika tidak, bukan tidak mungkin kabut asap ini akan menimbulkan permasalahan bagi aktifitas kehidupan manusia, termasuk keselamatan dan kesehatan jiwanya.
Kecelakaan lalu lintas akibat pendeknya jarak pandang, penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Atas (Ispa) khususnya pada anak-anak akibat buruknya kondisi udara, dan bahkan akan mengganggu jalur penerbangan. Seperti yang diprediksi para pengamat lingkungan, kabut asap ini juga akan bertambah dalam beberapa hari ke depan. Itu artinya, tindakan dini untuk mengatasinya harus digalakkan. Disnilah dituntut kearifan kita bersama.
Untuk itulah, kita berharap ada solusi yang bijaksana untuk mengatasi masalah ini. Jika tidak ingin dampak lanjutan, yang jauh lebih parah akan terjadi. Dalam konteks inilah, menjadi sangat perlu membumikan adagium kesehatan dimana “mencegah lebih baik dari pada mengobati�. Janganlah setelah dampaknya yang ditimbulkannya semakin luas dan besar, kita kemudian menjadi amat sibuk dan pontang-panting. Kita harus belajar dari kesalahan-kesalahan yang terjadi dimasa lampau. Bahaya kabut asap, memang harus kita cegah sedini mungkin.
Selama ini, kita memang lalai dalam melestarikan dan mengelola lingkungan. Sering sekali kita serakah untuk memanfaatkan sumber daya alam yang tersedia. Kepentingan ekonomi sering pula membelenggu kelestarian lingkungan. Dengan bercermin dengan banyaknya bencana alam, termasuk kabut asap, maka selayaknya kita mau berubah untuk lebih menghargai kelestarian alam. Alam jangan di eksploitasi, tetapi dilestarikan untuk dimanfaatkan.
Satu hal yang perlu digalakkan adalah perubahan paradigma dalam pengelolaan lingkungan. Pengelolaan lingkungan yang berbasiskan kelestarian dan keabadiannya harus tetap menjadi pokok perhatian. Disamping itu, penggunaan tekhnologi (khususnya tehknologi pertanian) baru dalam pembukaan lahan baru. Harus kita akui bahwa selama ini kita memang sangat tertinggal jauh dalam pemanfaatan teknologi ini. Selama ini, dengan alasan praktis dan tanpa membutuhkan banyak dana dan tenaga, upaya-upaya konvensional selalu kita lakukan. Sekarang ini, mumpung kebakaran hutan belum sempat terjadi, maka kewaspadaan dini layak ditingkatkan

KEBAKARAN HUTAN INDONESIA DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA

I. Pendahuluan

Hutan merupakan sumberdaya alam yang tidak ternilai karena didalamnya terkandung keanekaragaman hayati sebagai sumber plasma nutfah, sumber hasil hutan kayu dan non-kayu, pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta kesuburan tanah, perlindungan alam hayati untuk kepentingan ilmu pengetahuan, kebudayaan, rekreasi, pariwisata dan sebagainya. Karena itu pemanfaatan hutan dan perlindungannya telah diatur dalam UUD 45, UU No. 5 tahun 1990, UU No 23 tahun 1997, UU No. 41 tahun 1999, PP No 28 tahun 1985 dan beberapa keputusan Menteri Kehutanan serta beberapa keputusan Dirjen PHPA dan Dirjen Pengusahaan Hutan. Namun gangguan terhadap sumberdaya hutan terus berlangsung bahkan intensitasnya makin meningkat.

Kebakaran hutan merupakan salah satu bentuk gangguan yang makin sering terjadi. Dampak negatif yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan cukup besar mencakup kerusakan ekologis, menurunnya keanekaragaman hayati, merosotnya nilai ekonomi hutan dan produktivitas tanah, perubahan iklim mikro maupun global, dan asapnya mengganggu kesehatan masyarakat serta mengganggu transportasi baik darat, sungai, danau, laut dan udara. Gangguan asap karena kebakaran hutan Indonesia akhir-akhir ini telah melintasi batas negara.

Berbagai upaya pencegahan dan perlindungan kebakaran hutan telah dilakukan termasuk mengefektifkan perangkat hukum (undang-undang, PP, dan SK Menteri sampai Dirjen), namun belum memberikan hasil yang optimal. Sejak kebakaran hutan yang cukup besar tahun 1982/83 di Kalimantan Timur, intensitas kebakaran hutan makin sering terjadi dan sebarannya makin meluas. Tercatat beberapa kebakaran cukup besar berikutnya yaitu tahun 1987, 1991, 1994 dan 1997 hingga 2003. Oleh karena itu perlu pengkajian yang mendalam untuk mencegah dan menanggulangi kebakaran hutan.

Tulisan ini merupakan sintesa dari berbagai pengetahuan tentang hutan, kebakaran hutan dan penanggulangannya yang dikumpulkan dari berbagai sumber dengan harapan dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi para peneliti, pengambil kebijakan dan pengembangan ilmu pengetahuan bagi para pencinta lingkungan dan kehutanan.

II. Kebakaran Hutan dan Faktor Penyebabnya

Api sebagai alat atau teknologi awal yang dikuasai manusia untuk mengubah lingkungan hidup dan sumberdaya alam dimulai pada pertengahan hingga akhir zaman Paleolitik, 1.400.000-700.000 tahun lalu. Sejak manusia mengenal dan menguasai teknologi api, maka api dianggap sebagai modal dasar bagi perkembangan manusia karena dapat digunakan untuk membuka hutan, meningkatkan kualitas lahan pengembalaan, memburu satwa liar, mengusir satwa liar, berkomunikasi sosial disekitar api unggun dan sebagainya (Soeriaatmadja, 1997).

Analisis terhadap arang dari tanah Kalimantan menunjukkan bahwa hutan telah terbakar secara berkala dimulai, setidaknya sejak 17.500 tahun yang lalu. Kebakaran besar kemungkinan terjadi secara alamiah selama periode iklim yang lebih kering dari iklim saat itu. Namun, manusia juga telah membakar hutan lebih dari 10 ribu tahun yang lalu untuk mempermudah perburuan dan membuka lahan pertanian. Catatan tertulis satu abad yang lalu dan sejarah lisan dari masyarakat yang tinggal di hutan membenarkan bahwa kebakaran hutan bukanlah hal yang baru bagi hutan Indonesia (Schweithelm, J. dan D. Glover, 1999).

Menurut Danny (2001), penyebab utama terjadinya kebakaran hutan di Kalimantan Timur adalah karena aktivitas manusia dan hanya sebagian kecil yang disebabkan oleh kejadian alam. Proses kebakaran alami menurut Soeriaatmadja (1997), bisa terjadi karena sambaran petir, benturan longsuran batu, singkapan batu bara, dan tumpukan srasahan. Namun menurut Saharjo dan Husaeni (1998), kebakaran karena proses alam tersebut sangat kecil dan untuk kasus Kalimatan kurang dari 1 %.

Kebakaran hutan besar terpicu pula oleh munculnya fenomena iklim El-Nino seperti kebakaran yang terjadi pada tahun 1987, 1991, 1994 dan 1997 (Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dan UNDP, 1998). Perkembangan kebakaran tersebut juga memperlihatkan terjadinya perluasan penyebaran lokasi kebakaran yang tidak hanya di Kalimantan Timur, tetapi hampir di seluruh propinsi, serta tidak hanya terjadi di kawasan hutan tetapi juga di lahan non hutan.

Penyebab kebakaran hutan sampai saat ini masih menjadi topik perdebatan, apakah karena alami atau karena kegiatan manusia. Namun berdasarkan beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa penyebab utama kebakaran hutan adalah faktor manusia yang berawal dari kegiatan atau permasalahan sebagai berikut:

1. Sistem perladangan tradisional dari penduduk setempat yang berpindah-pindah.

2. Pembukaan hutan oleh para pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) untuk insdustri kayu maupun perkebunan kelapa sawit.

3. Penyebab struktural, yaitu kombinasi antara kemiskinan, kebijakan pembangunan dan tata pemerintahan, sehingga menimbulkan konflik antar hukum adat dan hukum positif negara.

Perladangan berpindah merupakan upaya pertanian tradisional di kawasan hutan dimana pembukaan lahannya selalu dilakukan dengan cara pembakaran karena cepat, murah dan praktis. Namun pembukaan lahan untuk perladangan tersebut umumnya sangat terbatas dan terkendali karena telah mengikuti aturan turun temurun (Dove, 1988). Kebakaran liar mungkin terjadi karena kegiatan perladangan hanya sebagai kamuflasa dari penebang liar yang memanfaatkan jalan HPH dan berada di kawasan HPH.

Pembukaan hutan oleh pemegang HPH dan perusahaan perkebunan untuk pengembangan tanaman industri dan perkebunan umumnya mencakup areal yang cukup luas. Metoda pembukaan lahan dengan cara tebang habis dan pembakaran merupakan alternatif pembukaan lahan yang paling murah, mudah dan cepat. Namun metoda ini sering berakibat kebakaran tidak hanya terbatas pada areal yang disiapkan untuk pengembangan tanaman industri atau perkebunan, tetapi meluas ke hutan lindung, hutan produksi dan lahan lainnya.

Sedangkan penyebab struktural, umumnya berawal dari suatu konflik antara para pemilik modal industri perkayuan maupun pertambangan, dengan penduduk asli yang merasa kepemilikan tradisional (adat) mereka atas lahan, hutan dan tanah dikuasai oleh para investor yang diberi pengesahan melalui hukum positif negara. Akibatnya kekesalan masyarakat dilampiaskan dengan melakukan pembakaran demi mempertahankan lahan yang telah mereka miliki secara turun temurun. Disini kemiskinan dan ketidak adilan menjadi pemicu kebakaran hutan dan masyarakat tidak akan mau berpartisipasi untuk memadamkannya.

III. Kerugian dan Dampak Kebakaran Hutan

3.1. Areal hutan yang terbakar

Beberapa tahun terakhir kebakaran hutan terjadi hampir setiap tahun, khususnya pada musim kering. Kebakaran yang cukup besar terjadi di Kalimantan Timur yaitu pada tahun 1982/83 dan tahun 1997/98. Pada tahun 1982/83 kebakaran telah menghanguskan hutan sekitar 3,5 juta hektar di Kalimantan Timur dan ini merupakan rekor terbesar kebakaran hutan dunia setelah kebakaran hutan di Brazil yang mencapai 2 juta hektar pada tahun 1963 (Soeriaatmadja, 1997).

Kemudian rekor tersebut dipecahkan lagi oleh kebakaran hutan Indonesia pada tahun 1997/98 yang telah menghanguskan seluas 11,7 juta hektar. Kebakaran terluas terjadi di Kalimantan dengan total lahan terbakar 8,13 juta hektar, disusul Sumatera, Papua Barat, Sulawesi dan Jawa masing-masing 2,07 juta hektar, 1 juta hektar, 400 ribu hektar dan 100 ribu hektar (Tacconi, 2003).

Selanjutnya kebakaran hutan Indonesia terus berlangsung setiap tahun meskipun luas areal yang terbakar dan kerugian yang ditimbulkannya relatif kecil dan umumnya tidak terdokumentasi dengan baik. Data dari Direktotar Jenderal Perlindungan hutan dan Konservasi Alam menunjukkan bahwa kebakaran hutan yang terjadi tiap tahun sejak tahun 1998 hingga tahun 2002 tercatat berkisar antara 3 ribu hektar sampai 515 ribu hektar (Direktotar Jenderal Perlindungan hutan dan Konservasi Alam, 2003).

3.2. Kerugian yang ditimbulkannya

Kebakaran hutan akhir-akhir ini menjadi perhatian internasional sebagai isu lingkungan dan ekonomi khususnya setelah terjadi kebakaran besar di berbagai belahan dunia tahun 1997/98 yang menghanguskan lahan seluas 25 juta hektar. Kebakaran tahun 1997/98 mengakibatkan degradasi hutan dan deforestasi menelan biaya ekonomi sekitar US $ 1,6-2,7 milyar dan biaya akibat pencemaran kabut sekitar US $ 674-799 juta. Kerugian yang diderita akibat kebakaran hutan tersebut kemungkinan jauh lebih besar lagi karena perkiraan dampak ekonomi bagi kegiatan bisnis di Indonesia tidak tersedia. Valuasi biaya yang terkait dengan emisi karbon kemungkinan mencapai US $ 2,8 milyar (Tacconi, 2003).

Hasil perhitungan ulang kerugian ekonomi yang dihimpun Tacconi (2003), menunjukkan bahwa kebakaran hutan Indonesia telah menelan kerugian antara US $ 2,84 milayar sampai US $ 4,86 milyar yang meliputi kerugian yang dinilai dengan uang dan kerugian yang tidak dinilai dengan uang. Kerugian tersebut mencakup kerusakan yang terkait dengan kebakaran seperti kayu, kematian pohon, HTI, kebun, bangunan, biaya pengendalian dan sebagainya serta biaya yang terkait dengan kabut asap seperti kesehatan, pariwisata dan transportasi.

3.3. Dampak Kebakaran Hutan

Kebakaran hutan yang cukup besar seperti yang terjadi pada tahun 1997/98 menimbulkan dampak yang sangat luas disamping kerugian material kayu, non kayu dan hewan. Dampak negatif yang sampai menjadi isu global adalah asap dari hasil pembakaran yang telah melintasi batas negara. Sisa pembakaran selain menimbulkan kabut juga mencemari udara dan meningkatkan gas rumah kaca.

Asap tebal dari kebakaran hutan berdampak negatif karena dapat mengganggu kesehatan masyarakat terutama gangguan saluran pernapasan. Selain itu asap tebal juga mengganggu transportasi khususnya tranportasi udara disamping transportasi darat, sungai, danau, dan laut. Pada saat kebakaran hutan yang cukup besar banyak kasus penerbangan terpaksa ditunda atau dibatalkan. Sementara pada transportasi darat, sungai, danau dan laut terjadi beberapa kasus tabrakan atau kecelakaan yang menyebabkan hilangnya nyawa dan harta benda.

Kerugian karena terganggunya kesehatan masyarakat, penundaan atau pembatalan penerbangan, dan kecelakaan transportasi di darat, dan di air memang tidak bisa diperhitungkan secara tepat, tetapi dapat dipastikan cukup besar membebani masyarakat dan pelaku bisnis. Dampak kebakaran hutan Indonesia berupa asap tersebut telah melintasi batas negara terutama Singapura, Brunai Darussalam, Malaysia dan Thailand.

Dampak lainnya adalah kerusakan hutan setelah terjadi kebakaran dan hilangnya margasatwa. Hutan yang terbakar berat akan sulit dipulihkan, karena struktur tanahnya mengalami kerusakan. Hilangnya tumbuh-tumbuhan menyebabkan lahan terbuka, sehingga mudah tererosi, dan tidak dapat lagi menahan banjir. Karena itu setelah hutan terbakar, sering muncul bencana banjir pada musim hujan di berbagai daerah yang hutannya terbakar. Kerugian akibat banjir tersebut juga sulit diperhitungkan.

Analisis dampak kebakaran hutan masih dalam tahap pengembangan awal, pengetahuan tentang ekosistem yang rumit belum berkembang dengan baik dan informasi berupa ambang kritis perubahan ekologis berkaitan dengan kebakaran sangat terbatas, sehingga dampak kebakaran hutan sulit diperhitungkan secara tepat. Meskipun demikian, berdasarkan perhitungan kasar yang telah diuraikan diatas dapat disimpulkan bahwa kebakaran hutan menimbulkan dampak yang cukup besar bagi masyarakat sekitarnya, bahkan dampak tersebut sampai ke negara tetangga.

IV. Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Hutan

Sejak kebakaran hutan yang cukup besar yang terjadi pada tahun 1982/83 yang kemudian diikuti rentetan kebakaran hutan beberapa tahun berikutnya, sebenarnya telah dilaksanakan beberapa langkah, baik bersifat antisipatif (pencegahan) maupun penanggulangannya.

4.1. Upaya Pencegahan

Upaya yang telah dilakukan untuk mencegah kebakaran hutan dilakukan antara lain (Soemarsono, 1997):

(a) Memantapkan kelembagaan dengan membentuk dengan membentuk Sub Direktorat Kebakaran Hutan dan Lembaga non struktural berupa Pusdalkarhutnas, Pusdalkarhutda dan Satlak serta Brigade-brigade pemadam kebakaran hutan di masing-masing HPH dan HTI;

(b) Melengkapi perangkat lunak berupa pedoman dan petunjuk teknis pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan;

(c) Melengkapi perangkat keras berupa peralatan pencegah dan pemadam kebakaran hutan;

(d) Melakukan pelatihan pengendalian kebakaran hutan bagi aparat pemerintah, tenaga BUMN dan perusahaan kehutanan serta masyarakat sekitar hutan;

(e) Kampanye dan penyuluhan melalui berbagai Apel Siaga pengendalian kebakaran hutan;

(f) Pemberian pembekalan kepada pengusaha (HPH, HTI, perkebunan dan Transmigrasi), Kanwil Dephut, dan jajaran Pemda oleh Menteri Kehutanan dan Menteri Negara Lingkungan Hidup;

(g) Dalam setiap persetujuan pelepasan kawasan hutan bagi pembangunan non kehutanan, selalu disyaratkan pembukaan hutan tanpa bakar.

4.2. Upaya Penanggulangan

Disamping melakukan pencegahan, pemerintah juga nelakukan penanggulangan melalui berbagai kegiatan antara lain (Soemarsono, 1997):

(a) Memberdayakan posko-posko kebakaran hutan di semua tingkat, serta melakukan pembinaan mengenai hal-hal yang harus dilakukan selama siaga I dan II.

(b) Mobilitas semua sumberdaya (manusia, peralatan & dana) di semua tingkatan, baik di jajaran Departemen Kehutanan maupun instansi lainnya, maupun perusahaan-perusahaan.

(c) Meningkatkan koordinasi dengan instansi terkait di tingkat pusat melalui PUSDALKARHUTNAS dan di tingkat daerah melalui PUSDALKARHUTDA Tk I dan SATLAK kebakaran hutan dan lahan.

(d) Meminta bantuan luar negeri untuk memadamkan kebakaran antara lain: pasukan BOMBA dari Malaysia untuk kebakaran di Riau, Jambi, Sumsel dan Kalbar; Bantuan pesawat AT 130 dari Australia dan Herkulis dari USA untuk kebakaran di Lampung; Bantuan masker, obat-obatan dan sebagainya dari negara-negara Asean, Korea Selatan, Cina dan lain-lain.

4.3. Peningkatan Upaya Pencegahan dan Penanggulangan

Upaya pencegahan dan penanggulangan yang telah dilakukan selama ini ternyata belum memberikan hasil yang optimal dan kebakaran hutan masih terus terjadi pada setiap musim kemarau. Kondisi ini disebabkan oleh berbagai faktor antara lain:

(a) Kemiskinan dan ketidak adilan bagi masyarakat pinggiran atau dalam kawasan hutan.

(b) Kesadaran semua lapisan masyarakat terhadap bahaya kebakaran masih rendah.

(c) Kemampuan aparatur pemerintah khususnya untuk koordinasi, memberikan penyuluhan untuk kesadaran masyarakat, dan melakukan upaya pemadaman kebakaran semak belukar dan hutan masih rendah.

(d) Upaya pendidikan baik formal maupun informal untuk penanggulangan kebakaran hutan belum memadai.

Hasil identifikasi dari serentetan kebakaran hutan menunjukkan bahwa penyebab utama kebakaran hutan adalah faktor manusia dan faktor yang memicu meluasnya areal kebakaran adalah kegiatan perladangan, pembukaan HTI dan perkebunan serta konflik hukum adat dengan hukum negara, maka untuk meningkatkan efektivitas dan optimasi kegiatan pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan perlu upaya penyelesaian masalah yang terkait dengan faktor-faktor tersebut.

Di sisi lain belum efektifnya penanggulangan kebakaran disebabkan oleh faktor kemiskinan dan ketidak adilan, rendahnya kesadaran masyarakat, terbatasnya kemampuan aparat, dan minimnya fasilitas untuk penanggulangan kebakaran, maka untuk mengoptimalkan upaya pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan di masa depan antara lain:

a. Melakukan pembinaan dan penyuluhan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pinggiran atau dalam kawasan hutan, sekaligus berupaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya kebakaran hutan dan semak belukar.

b. Memberikan penghargaan terhadap hukum adat sama seperti hukum negara, atau merevisi hukum negara dengan mengadopsi hukum adat.

c. Peningkatan kemampuan sumberdaya aparat pemerintah melalui pelatihan maupun pendidikan formal. Pembukaan program studi penanggulangan kebakaran hutan merupakan alternatif yang bisa ditawarkan.

d. Melengkapi fasilitas untuk menanggulagi kebakaran hutan, baik perangkat lunak maupun perangkat kerasnya.

e. Penerapan sangsi hukum pada pelaku pelanggaran dibidang lingkungan khususnya yang memicu atau penyebab langsung terjadinya kebakaran.

V. Penutup

Sebagai penutup tulisan ini dapat dikemukakan beberapa hal sebagai berikut:

1. Hutan merupakan sumberdaya alam yang tidak ternilai harganya karena didalamnya terkandung keanekaragaman hayati sebagai sumber plasma nutfah, sumber hasil hutan kayu dan non-kayu, pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta kesuburan tanah, dan sebagainya. Karena itu pemanfaatan dan perlindungannya diatur oleh Undang-undang dan peraturan pemerintah.

2. Kebakaran merupakan salah satu bentuk gangguan terhadap sumberdaya hutan dan akhir-akhir ini makin sering terjadi. Kebakaran hutan menimbulkan kerugian yang sangat besar dan dampaknya sangat luas, bahkan melintasi batas negara. Di sisi lain upaya pencegahan dan pengendalian yang dilakukan selama ini masih belum memberikan hasil yang optimal. Oleh karena itu perlu perbaikan secara menyeluruh, terutama yang terkait dengan kesejahteraan masyarakat pinggiran atau dalam kawasan hutan.

3. Berbagai upaya perbaikan yang perlu dilakukan antara lain dibidang penyuluhan kepada masyarakat khususnya yang berkaitan dengan faktor-faktor penyebab kebakaran hutan, peningkatan kemampuan aparatur pemerintah terutama dari Departemen Kehutanan, peningkatan fasilitas untuk mencegah dan menanggulagi kebakaran hutan, pembenahan bidang hukum dan penerapan sangsi secara tegas.